skip to main |
skip to sidebar
1. PARADIGMA MANAJEMEN DAN ORGANISASI
Manajemen berasal dari bahasa Inggris: management dengan kata kerja to
manage yang secara umum berarti mengurusi. Dalam arti khusus manajemen
dipakai bagi pimpinan dan kepemimpinan, yaitu orang-orang yang
melakukan kegiatan memimpin. Manajemen kemudian diartikan sebagai
suatu rentetan langkah yang terpadu untuk mengembangkan suatu
organisasi sebagai suatu sistem yang bersifat sosio-ekonomi-teknis.
Definisi lebih rinci disampaikan Stonner dalam Management (1978),
yaitu sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, memimpin dan
mengawasi usaha-usaha dari anggota organisasi dan dari sumber-sumber
organisasi lainnya untuk mencapai tujuan organisasi yang telah
ditetapkan.
Dari pengertian tersebut di atas, maka organisasi didudukkan sebagai
suatu sistem yang bersifat sosio-ekonomi-teknis. Sistem adalah suatu
keseluruhan dinamis yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan
secara organik. Dinamis berarti bergerak, berkembang ke arah suatu
tujuan. Sosio (sosial) berarti yang bergerak di dalam dan yang
menggerakkan sistem itu ialah manusia. Ekonomi berarti kegiatan dalam
sistem bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Teknis berarti dalam
kegiatan dipakai harta, alat-alat dan cara-cara tertentu.
Sementara kepanitian adalah sebuah kelompok orang sebagai suatu
kelompok yang diserahi suatu masalah untuk dipecahkan. Kepanitiaan
dibentuk sebagai bagian dari struktur organisasi dengan tugas dan
wewenang yang didelegasikan secara spesifik. Keuntungan untuk
mendapatkan pemikiran dan pertimbangan kelompok, penghindaran
sentralisasi kewenangan pada satu pihak, motivasi partisipasi,
kemudahan koordinasi dan distribusi tugas dan informasi adalah
beberapa alasan terbentuknya kepanitiaan.
Perspektif Islam meluruskan pandangan ini. Islam memandang bahwa
keberadaan manajemen sebagai suatu kebutuhan yang tak terelakkan dalam
memudahkan implementasi Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan
masyarakat. Implementasi nilai-nilai Islam berwujud pada
difungsikannya Islam sebagai kaidah berpikir dan kaidah amal dalam
kehidupan. Sebagai kaidah berpikir, syariah difungsikan sebagai asas
dan landasan pola pikir. Sedangkan sebagai kaidah amal, syariah
difungsikan sebagai tolok ukur perbuatan. Jadi, manajemen diperlukan
untuk mengelola berbagai sumberdaya, seperti sarana dan prasarana,
waktu, SDM, metode dan lainnya dalam rangka pencapaian tujuan
implementasi nilai-nilai Islam secara efektif dan efisien.
Aplikasi manajemen menyentuh semua bidang kehidupan (pemerintahan,
industri, perdagangan, pertanian, dll) beserta seluruh aspeknya dari
hulu hingga hilir. Selain sebagai tool, manajemen memiliki dua unsur
lainnya, yakni subyek pelaku dan obyek tindakan. Subyek pelaku
manajemen tidak lain adalah manajer itu sendiri, apakah itu pimpinan
organisasi, kepala departemen, koordinator tim, ketua panitia atau
lainnya. Sedangkan obyek tindak manajemen terdiri atas organisasi,
SDM, dana, operasi/produksi, pemasaran, waktu dan obyek lainnya.
Disamping itu, manajemen juga memiliki empat fungsi standar, yaitu
fungsi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
pengarahan (actuating) dan pengawasan (controlling).
Sementara berkenaan dengan organisasi, Islam memandangnya sebagai suatu
wadah sebagaimana komunitas dan masyarakat yang lebih luas yang hanya
akan terjadi bilamana terdapat interaksi di antara anggotanya.
Interaksi ini pun hanya dimungkinkan bila terdapat kesamaan maslahat di
dalamnya. Interaksi antar anggota ini ditandai oleh tiga unsur, yakni
adanya kesamaan pemikiran dan perasaan tentang maslahat tersebut yang
dibingkai dalam satu koridor aturan yang sama. Dengan berbasis pada
perspektif Islam, maka interaksi yang berjalan mestilah interaksi yang
Islami. Interaksi yang didalamnya terjalin kesamaan pemikiran, perasaan
dalam satu aturan main yang sama, yakni Islam. Bila tidak, maka
keterasingan antar elemen anggota akan menjadi suatu keniscayaan.
Dalam organisasi dakwah, maslahat yang dimaksud adalah keberlangsungan
dakwah itu sendiri. Guna mewujudkan interaksi yang tepat dan optimal,
maka maslahat ini memberikan prasyarat yang harus dimiliki oleh sebuah
organisasi dakwah. Prasyarat itu – sebagaimana disarikan dari Syekh
Taqiyuddin An Nabahani dalam Kitab Takatul Hizby (1954) - adalah bahwa
(1) organisasi dakwah haruslah berdiri atas dan dibentuk untuk
mengusung satu fikroh yang jernih dan jelas, yakni Islam (QS. An Nahl:
125); (2) metodologi dakwah yang diterapkan organisasi dakwah mestilah
sesuai dengan thoriqoh dakwah Rasulullah SAW; (3) sejalan dengan dakwah,
maka sifat keanggotaannya pun haruslah terbuka hanya bagi umat Islam;
dan (4) ikatan antar anggota haruslah dibangun atas dasar mabda Islam.
2. STRATEGI INDUK DAN ORIENTASI MANAJEMEN SYARIAH PADA ORGANISASI
Keberadaan dan sekaligus performansi organisasi sangat lekat dan
identik dengan strategi induknya, yakni visi, misi dan tujuan. Karena
itu, penerapan syariah dalam perspektif perencanaan strategis nampak
jelas pada isi strategi induk ini. Strategi Induk merupakan rencana
strategis untuk melihat sisi organisasi kita 5, 10 atau 20 tahun
(lazimnya untuk 5 tahun) mendatang. Berpikir strategis akan membawa
cakrawala atau wawasan jauh ke depan dan tidak terjebak pada suasana
hari ini atau hari kemarin. Rencana jangka panjang ini sangat
diperlukan sebagai barometer atau penunjuk arah aksi organisasi yang
dikaitkan dengan kemampuan serta peluang yang ada.
Visi adalah cara pandang yang menyeluruh dan futuristik terhadap
keberadaan organisasi. Misi merupakan pernyataan yang menjelaskan
alasan pokok berdirinya organisasi dan membantu mengesahkan fungsinya
dalam masyarakat atau lingkungan. Sementara, tujuan adalah akhir
perjalanan yang dicari organisasi untuk dicapai melalui eksistensi dan
operasinya serta merupakan sasaran yang lebih nyata dari pada
pernyataan misi.
Turunan berikutnya dari strategi induk adalah penetapan tolok ukur
strategis dan operasional bagi perjalanan organisasi. Tolok ukur
strategis lebih bersifat kualitatif dan bersandarkan pada nilai-nilai
yang dianut organisasi. Sementara, tolok ukur operasional lebih
bersifat kuantitatif dan didasarkan atas kesepakatan hasil perhitungan
dan analisis bersama dalam menjalankan aktivitas organisasi.
Bagi organisasi dakwah kita, berdasarkan syariah, maka visi, misi dan
tujuan suatu organisasi hendaknya menggambarkan orientasi manajemen
yang berbasis syariah. Karena itu, maka visi organisasi dakwah adalah
menjadikan organisasi sebagai wahana dakwah bagi para pengelolanya
dalam meraih keridloan Allah SWT. Misi dan tujuannya bahwa keberadaan
organisasi tidak lain adalah untuk mewujudkan SDM yang memiliki
kematangan keperibadian (syakhsiyyah) Islam, melalui pola fikir dan pola
sikap yang Islami, serta untuk menyeru umat agar bangkit untuk kembali
ke haribaan kehidupan Islami.
Atas dasar syariah pula, maka tolok ukur strategis bagi aktivitas
organisasi adalah syariah itu sendiri. Hal ini sebagaimana kaidah ushul
yang menyatakan “al aslu fil af’al attaqoyyadu bil hukmisy syar’i”,
yakni hukum asal suatu perbuatan adalah terikat pada hukum syara yang
lima, yakni wajib, sunah, mubah, makruh atau haram.
Adapun tolok ukur operasional – sesuai dengan sifatnya, maka disepakati
sesuai dengan kebutuhan organisasi yang berkaitan dengan teknis
penyelenggaraan kegiatan-kegiatannya. Tolok ukur tersebut dapat
diformulasikan sebagai SMART, yakni bahwa sebuah program/kegiatan
haruslah Specific (bersifat unique, khas), Measurable (dapat
diukur/kuantitatif), Attainable (dapat dicapai), Realistic (realistis),
dan Timely basis (berorientasi waktu).
Strategi induk sebagaimana tersebut di atas akan meluruskan orientasi
manajemen yang bervisi sekuler agar sejalan dengan visi dan misi
penciptaan manusia, terlebih bila ia adalah organisasi dakwah.
3. TIGA ASPEK PENTING DALAM PENGORGANISASIAN
Pengorganisasian mengandung pengertian sebagai proses penetapan
struktur peran-peran melalui penentuan aktivitas-aktivitas yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dan
bagian-bagiannya, pengelompokkan aktivitas-aktivitas, penugasan
kelompok-kelompok aktivitas kepada manajer-manajer, pendelegasian
wewenang untuk melaksanakannya, pengkoordinasian hubungan-hubungan
wewenang dan informasi, baik horisontal maupun vertikal dalam struktur
organisasi. Agar keberadaan organisasi menjadi berarti bagi SDM
internalnya dan juga masyarakat di lingkungannya, maka peran organisasi
haruslah mencakup tiga hal berikut. Pertama, harus memiliki tujuan
yang dapat dibuktikan. Kedua, konsep kewenangan beserta aktivitas
yang terlibat harus jelas. Ketiga, memiliki batasan kebijakan
organisasi yang jelas dan dapat dimengerti oleh seluruh SDM-nya. Pada
tataran implementasinya, ketiga hal tersebut tercermin pada aspek
struktur, tugas dan wewenang serta hubungan anggota.
3.1. Aspek Struktur
Implementasi syariah pada aspek ini terutama pada alokasi SDM yang
berkorelasi dengan faktor profesionalisme serta aqad (perjanjian)
pekerjaan/tugas.
Selain memerintahkan bekerja, Islam juga memberikan tuntunan kepada
setiap Muslim agar dalam bekerja di bidang apapun haruslah mempunyai
sikap yang profesional. Dalam buku Program Peningkatan Kontrol Diri,
SEM Institute (2000), dinyatakan bahwa Profesionalime menurut
pandangan Islam dicirikan oleh tiga hal, yakni (1) kafa`ah, yaitu
adanya keahlian dan kecakapan dalam bidang pekerjaan yang dilakukan;
(2) himmatul ‘amal, yakni memiliki semangat atau etos kerja yang
tinggi; dan (3) amanah, yakni terpercaya dan bertanggungjawab dalam
menjalankan berbagai tugas dan kewajibannya serta tidak berkhianat
terhadap jabatan yang didudukinya.
Untuk mewujudkan SDM muslim yang professional dalam organisasi dakwah
kita, Islam telah memberikan tuntunan yang yang sangat jelas. Kafa’ah
atau keahlian dan kecakapan diperoleh melalui pendidikan, pelatihan
dan pengalaman; (2) Himmatu al-‘amal atau etos kerja yang tinggi
diraih dengan jalan menjadikan motivasi ibadah sebagai pendorong utama
di samping motivasi penghargaan (reward) dan hukuman (punishment);
serta (3) Amanah atau sifat terpercaya dan bertanggungjawab
diperoleh dengan menjadikan tauhid sebagai unsur pendorong dan
pengontrol utama tingkah laku.
3.2. Aspek Tugas dan Wewenang
Implementasi syariah pada aspek ini terutama ditekankan pada kejelasan
tugas dan wewenang masing-masing bidang yang diterima oleh para SDM
pelaksana berdasarkan kesanggupan dan kemampuan masing-masing sesuai
dengan aqad pekerjaan tersebut.
3.3. Aspek Hubungan Anggota
Implementasi syariah pada aspek ini dapat dilihat pada penetapan budaya
organisasi bahwa setiap interaksi antar SDM adalah hubungan muamalah
yang selalu mengacu pada amar ma’ruf dan nahi munkar.
Interaksi antar anggota organisasi haruslah terjaga dalam suasana
kebersamaan team (together everyone achieve more). Hal ini dimaksudkan
agar tetap kondusif dalam rangka pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan. Suatu tim dimana seluruh anggotanya bersinergi dalam
kesamaan visi, misi dan tujuan organisasi. Suasana tersebut dapat
diringkas dalam formula three in one (3 in 1), yakni kebersamaan seluruh
anggota dalam kesatuan bingkai thinking-afkar (ide/pemikiran),
feeling-masyair (perasaan) dan rule of game-nidzam (aturan bermain).
Tentu saja interaksi yang terjadi berada dalam koridor amar ma’ruf dan
nahi munkar.
Guna memastikan bahwa tujuan organisasi di semua tingkat dan rencana
yang didesain untuk mencapainya, sedang dilaksanakan dan terjaga
harmoninya, maka. dibutuhkan tiga pilar harmoni organisasi, yaitu:
• Ketaqwaan individu.
Seluruh personel SDM organisasi dipastikan dan dibina agar menjadi SDM yang bertaqwa.
• Kontrol anggota.
Dengan suasana organisasi yang mencerminkan formula TEAM, maka proses
keberlangsungan organisasi selalu akan mendapatkan pengawalan dari
para SDM-nya agar sesuai dengan arah yang telah ditetapkan.
• Penerapan (supremasi) aturan.
Organisasi ditegakkan dengan aturan main yang jelas dan transparan serta – tentu saja – tidak bertentangan dengan syariah.
4. APLIKASI PRAKTIS MANAJEMEN ORGANISASI DAKWAH
Dakwah memang menyeru, mengajak dengan omongan. Bukan hanya bicara di
atas mimbar, tapi bisa juga dengan ngobrol dengan teman sebangku di
kelas, di kantin, di angkot (angkutan kota, Red.) lalu menulis di
majalah dsb. Namun begitu, uslub (cara) seperti ini juga perlu
ditunjang dengan uswah (teladan). Artinya tidak cukup sekedar
mengajak, tetapi akhlak pun harus sesuai dengan Islam.
Berdakwah agar efisien dan efektif juga mesti memperhatikan
ketersediaan bahan dakwah - sejauh mana pemahamannya terhadap Islam,
medan dakwah di mana ia tinggal serta skill (bukan sikil, red) yang
dipunyai seperti kemampuan komunikasi, analisis kondisi lingkungan dsb.
Berdakwah secara team (together everyone achieve more) dengan
manajemen yang oke akan lebih efisien dan efektif dalam mencapai
tujuan dakwah dibandingkan jika hanya berdakwah secara individual.
Ringkasnya, bersama-sama dengan hamiluddakwah lainnya dalam organisasi
dakwah melakukan:
* Prakondisi perencanaan, meliputi pengenalan medan dakwah melalui analisis kondisi lingkungan.
* Perumusan perencanaan, meliputi: penetapan tujuan-tujuan jangka
pendek dalam rangka pencapaian tujuan jangka panjang yakni melanjutkan
kembali kehidupan Islam di tengah-tengah umat; penetapan
sasaran-sasaran atau objek dakwah serta penentuan tolok ukur
keberhasilan dakwah.
* Implementasi, mencakup pembagian tugas, pembekalan materi yang
diperlukan serta melakukan pertemuan-pertemuan rutin pra-action
(briefing). Dan setelah semuanya oke, tunggu apalagi? Action!
* Evaluasi dan umpan balik. Untuk melihat dampak dakwah yang telah
dilakukan, perlu selalu dievaluasi dengan mengacu kepada tolok ukur,
baik yang bersifat strategis (QS. Al Mulk: 2-3) maupun yang bersifat
operasional terukur.
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu (Islam) dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”
QS. An Nahl: 125
Semoga bisa jadi sedikit muhasabah bagi organisasi dakwah kita. Insya Allah.
Alhamdulillah…Luar Biasa…Allahu Akbar !!!
0 comments:
Post a Comment