By Indra Andarun. Artikel ini adalah laporan dinamika kajian reguler Divisi Ekonomi Islam
Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU) Mesir,
Jumat (1/2). Pembahasan kali ini fokus pada tema ekonomi syari’ah dalam
perspektif 4 mazhab.
Dewasa ini, geliat ekonomi syariah alias
ekonomi Islam begitu kentara dalam dunia perekonomian Indonesia. Ekonomi
Islam sebagai cetak biru dari sistem ekonomi yang berbasis al Quran dan
hadis tidak lagi menjadi sekadar tren, tapi sudah menjadi kebutuhan.
Ketika sistem ekonomi konvensional dirasa memiliki banyak kekurangan dan
tidak bisa mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang hakiki, mencuatlah
ekonomi Islam sebagai sebuah solusi. Ketika dalam sistem ekonomi
konvensional kian ditemukan banyak kerentanan dan kelemahan fundamental,
maka makin diliriklah sistem ekonomi Islam. Bahkan, pihak Barat pun
secara laun konon telah ikut mengadopsi serta mengeksplorasi beberapa
instrumen sistem ekonomi Islam.
Berangkat dari fenomena itulah
bahtsul masail digelar. NU Mesir tergelitik untuk turut serta mengupas
tuntas sistem ekonomi Islam dari sudut pandang ulama 4 mazhab (Hanafi,
Maliki, Syafi’i, dan Hambali), maupun dari sisi-sisi menarik lainnya.
Bukan bermaksud latah, tetapi lebih kepada sebuah panggilan jiwa sebagai
agent of change untuk ikut memberikan sumbangsih ilmiah kepada bangsa dan masyarakat Indonesia tercinta.
Sebagai
sebuah sistem yang berasal dari eksplorasi Quran serta hadis, ekonomi
Islam diyakini mampu meminimalisir perilaku rente dan spekulatif ala
ekonomi konvensional. Dua contoh praktik dalam ekonomi konvensional di
atas dalam Islam termasuk praktik mikroekonomi yang terlarang. Hal itu,
sebagaimana yang dipaparkan oleh rekan Muhammad Anwar Fathoni dalam
makalahnya yang bertajuk: Konsep Dasar Akad Jual Beli Dalam Islam.
Sekadar untuk diketahui, kajian reguler divisi Ekonomi LBMNU Mesir kali
ini adalah pertemuan kedua yang mulai masuk pada pembahasan akad jual
beli dalam Islam secara komprehensif dari perspektif 4 mazhab.
Pada
pertemuan pertama, diskusi lebih sebagai orientasi dan pembekalan
menuju kajian eksklusif ekonomi Islam. Dalam kajian divisi Ekonomi kali
kedua ini, Anwar memetakan akad jual beli dari perspektif 4 mazhab,
dengan
Syafi’iyah sebagai pijakan utama. Dalam presentasinya,
Anwar mengutarakan bahwa dalam mengulas teori dasar transaksi jual beli,
ia sengaja akan masuk melalui pintu syarat, rukun dan sifat-sifat
sebuah akad. Sebab, menurutnya dari situ sebuah akad juga akan dengan
sendirinya bisa diketahui legalitasnya.
Dalam mendefinisikan akad jual beli, pemakalah lebih suka merujuk defenisi yang ada pada buku
al Qalyubi wa Umairah,
yakni jual beli adalah akad tukar menukar harta benda yang
konsekuensinya menjadikan pelaku transaksi memiliki benda atau manfaat
harta itu selamanya. Keputusan lebih condong pada definisi dari buku
Qalyubi juga sudah mempertimbangkan beragam definisi dari ulama mazhab
Hanafiah,
Malikiah,
Hanabilah, maupun dari para ulama
Syafi’iah
sendiri. Menurutnya, definisi itulah yang paling komprehensif-protektif
(jami’ mani’) atas akad jual beli. Mengingat banyaknya definisi dari
berbagai aliran perguruan (lintas mazhab), maka sang pemakalah dalam
pembahasan utamanya sengaja fokus di mazhab Syafi’i dengan tetap
menyisipkan perspektif mazhab lain sebagai pembanding. Untuk referensi
babon, pemakalah menggunakan buku
Minhaj at-Thalibin karya Imam an Nawawi sebagai acuan utama dalam menggali teori akad jual beli ala mazhab Syafi’i.
Menyinggung tentang dasar hukum transaksi jual beli dalam Islam, rekan Anwar mengutip keterangan yang terdapat dalam kitab
al -Umm,
bahwa selagi saling rela dan tidak ada nas pelarangan dari (syariat)
nabi Muhammad SAW, pada dasarnya hukum semua akad jual beli adalah
boleh. Hal itu senada dengan ketentuan yang termaktub dalam QS an Nisa
ayat 29 dan QS al Baqarah ayat 275. Memasuki pembahasan rukun, pemakalah
memaparkan bahwa menurut ulama Syafi’i, rukun akad jual beli ada tiga;
yaitu
sighat (ijab dan kabul),
ma’qud alaih (objek/komoditi) dan
‘aqidain (dua pihak yang bertransaksi). Sedangkan menurut ulama
Hanafiah, rukun akad jual beli hanyalah
sighat, mereka mengkategorikan
ma’qud ‘
alaih dan ‘
aqidain sebagai syarat. Namun, menurut al Khatib as Syarbini dalam buku
Mughni al Muhtaj-nya,
perbedaan mayortitas ulama Hanafi dengan perspektif Syafi’i itu hanya
sebatas redaksional. Sebab, kenyataan praktik jual beli ala mazhab
Hanafi pun tidak mengesahkan jual beli tanpa adanya
ma’qud alaih dan ‘
aqidain.
Tatkala
tiga unsur rukun akad jual beli di atas telah terpenuhi semua, sebuah
transaksi tidak serta merta secara syariat menjadi legal-formal. Masih
terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi pula agar transaksi jual
beli dapat dikategorikan sah alias sudah legal-formal menurut
yurisprudensi Islam.
Pertama, syarat yang terkait
sighat alias ijab dan kabul. Dalam hal ini, ulama
Syafi’iah
menyaratkan harus adanya ijab-kabul dari kedua pihak; pembeli dan
penjual. Ijab dan kabul menjadi sentral, sebab dari rukun inilah standar
kerelaan ‘
aqidain didapat. Lantas, dari sini tentunya juga akan timbul pertanyaan, bagaimana dengan hukum dari jual beli
mu’athah
yang dalam praktiknya tidak ada ijab-kabul dari kedua pihak yang
bertransaksi. Menyikapi hal ini, internal ulama Syafi’i juga saling beda
pendapat mengenai keabsahan transaksi
mu’athah. Ada yang berpendapat akad ini tidak sah karena sikap-perbuatan yang ada tidak bisa menunjukan kerelaan.
Ada pula jajaran petinggi
Syafi’iah yang mengesahkannya, yakni al Khatib as Syarbini, al Mutawalli dan al Baghawi. Menurut mereka, transaksi jual beli
mu’athah sah dalam hal-hal yang oleh ‘
urf (standar keumuman) itu digolongkan praktik jual beli. Sedang menurut Ibn Suraij dan ar Rauyani, keabsahan jual beli
mu’athah dibatasi hanya dalam hal-hal yang secara ‘
urf
itu bisa dilakukan serah terima, tanpa perlu ada pelafalan, contohnya
seperti jual beli roti, susu, buah-buahan dan keperluan sehari-hari
lainnya. Adapun ulama mazhab lain, seperti
Hanafiah, Malikiah dan
Hanabilah, memperbolehkan jual beli
mu’athah secara mutlak.
Kedua,
tiadanya pemisah yang panjang antara ijab dengan kabul oleh unsur-unsur
luar yang membuat keduanya tidak berkaitan. Baik dengan diam yang
panjang atau dengan kalimat lain yang tidak berhubungan dengan akad.
Mengenai ini, ulama
Hanafiah menggunakan redaksi keharusan melakukan transaski dalam satu majelis. Sementara ulama
Malikiah
berpendapat, adanya pemisah antara ijab dan kabul tidak akan
mempengaruhi akad jual beli kecuali ketika pihak yang bertransaksi
keluar dari akad.
Ketiga, esensi kabul
harus selaras dengan ijab. Misalnya, ketika pihak pertama berkata, “aku
jual beras ini kepadamu dengan harga seribu,” pihak kedua pun harus
menjawab “aku terima ini dengan harga seribu.”
Bagian yang kedua dari syarat-syarat yang harus terpenuhi ketika melakukan transaksi jual beli adalah adanya ‘
aqidain atau
kedua pihak pelaku transaksi harus cakap. Dalam arti, pelaku transaksi
telah balig dan cakap dalam beragama maupun mengelola harta. Oleh karena
itu tidak sah jual beli yang dilakukan anak kecil, orang gila, idiot
maupun orang bangkrut. Syarat-syarat tersebut diamini oleh ulama
Hanabillah. Sementara ulama
Hanafiah dan
Malikiah tidak menetapkan adanya syarat baligh.
Lebih lanjut, ulama
Hanafiah
mengklasifikasi tasarufnya anak kecil yang tamyiz dan berakal dalam
tiga kategori. Pembahasan selanjutnya, tentang perkara yang berpengaruh
dalam unsur ‘
aqidain; yaitu tidak adanya paksaan tanpa dasar (
‘adam al ikrah bighairi al haq),
sebab prinsip utama dalam dasar jual beli adalah kerelaan. Sebaliknya,
ketika ada paksaan yang berdasar, maka transaksi jual beli tetap sah.
Contoh kasus seperti tekanan dari penguasa untuk menjual rumah demi
melunasi hutang yang melilit. Namun, ulama
Hanafiah menyatakan
jual beli semacam tadi adalah fasid sehingga pihak pemaksa boleh
meneruskan atau membatalkan akad. Sedangkan pembeli dapat memiliki
mabi’ (komoditi) jika pihak pemaksa meneruskan akadnya. Meski begitu, akad semacam ini dianggap transaksi yang
khabits (buruk) seperti transaksi yang terkontaminasi praktik rente atau riba.
Bagian ketiga yang diuraikan pemakalah adalah syarat terkait
ma’qud alaih alias komoditi yang diperjual belikan
. Syarat
objek komoditi yang harus suci dari najis, bukan barang yang terkena
najis yang tidak mungkin disucikan, harus barang yang bermanfaat, bisa
diserah terimakan, bisa dimiliki secara penuh, dan dapat diketahui oleh ‘
aqidain,
kesemuannya oleh rekan Anwar dijelaskan secara gamblang. Setelah
memaparkan definisi, rukun dan syarat jual beli, pemakalah memasuki
pembahasan karakteristik dan klasifikasi jual beli batil dan fasid.
Menurut mayoritas ulama
Syafi’iyah, dengan memandang terpenuhi
tidaknya rukun serta syarat, akad terbagi menjadi dua, yaitu akad sahih
dan tidak sahih. Sedang menurut
Hanafiah, akad diklasifikasi
menjadi tiga, yakni sahih, fasid dan batil. Masing-masing pembagian itu
diterangkan oleh pemakalah dengan cukup terang.
Untuk mengetahui
sah tidaknya transaksi jual beli, dapat dianalisa juga dari
syarat-syarat yang mendampingi sebuah akad. Hal tersebut diuraikan oleh
Dr. Hasan Ali as Syadzili dengan lengkap dari perspektif 4 mazhab dan
dipaparkan cukup detail oleh rekan Anwar dalam presentasinya.
Proses Dialektika Nalar
Selaku
moderator, penulis menyimpulkan secara singkat apa yang telah
dipaparkan pemakalah sebagaimana tersaji dalam narasi di atas.
Selanjutnya, moderator mempersilahkan para pegiat kajian divisi Ekonomi
LBM PCINU Mesir untuk mengomentari dan mengkrtisi makalah. Dari proses
dialektika yang berlangsung, hal pertama yang dikritisi oleh para
aktifis LBM adalah seputar definisi. Yang paling tegas, diutarakan oleh
rekan Maftuhin dan Amrullah, yakni perihal masih adanya kekurang
sempurnaan dalam hal pendefinisian. Baik masih kurangnya pencantuman
ragam definisi jual beli, juga perihal masih ada kekurangan dalam proses
transliterasinya. Meski sepakat dengan pemakalah tentang definisi yang
ada dalam
Qalyubi merupakan definisi paling komprehensif-protektif, namun ketiadaan penyertaan “
la ‘ala wajhi al qurbah” akan berdampak signifikan pada keabsahan akad tentang hal yang dikecualikan dari teks tersebut.
Jadi,
sebagian besar audiens meminta pemakalah untuk menulisankan defenisi
secara utuh. Kemudian, mengingat definisi adalah elemen terpenting untuk
memasuki sebuah kajian mendalam, maka kiranya memang perlu ada
pencantuman berbagai definisi untuk mencari definisi yang paling
mendekati sempurna. Sebab, merujuk pada statement Dr. Fayati Muhammad,
definisi yang baik, adalah definisi yang singkat, padat namun berisi.
Dan ketika ragam definisi jual beli lintas mazhab telah tersaji, maka
peluang untuk mendapati defenisi yang paling
jami’ mani’ akan lebih mudah tercapai.
Sebagai
komentator selanjutnya, saudara Amud Shofy mengusulkan adanya tarjih
dari uraian apik pemakalah tentang sistem jual beli ala Islam perspektif
4 mazhab. Hal itu juga diamini oleh rekan Anam. Lebih lanjut, Anam juga
menghendaki adanya fokus pembahasan agar suasana diskusi tidak terlalu
melebar. Ia juga mengingatkan harus hati-hati supaya tidak terjebak pada
praktik
talfik yang tidak diperbolehkan. Dalam kesempatan
sebelumnya, Adhi Maftuhin menuntut adanya pendefinisian harta, mengingat
harta merupakan objek komoditi dalam perdagangan yang urgen dan akan
selalu dibahas.
Selain itu, ia juga mengusulkan penyebutan lengkap
asbabun nahyi
(sebab-sebab pelarangan) dalam praktik jual beli, yang mana dalam
makalah baru disebutkan satu macam, yakni terkait syarat (as syurut).
Selanjutnya, Adhi Maftuhin menegaskan kalau ia sependapat ketika sang
pemakalah menjadikan buku
Minhaj at Thalibin karya Imam an Nawawi sebagai rujukan utama. Sebab, bisa dikatakan buku
al Minhaj ini merupakan representasi sari pati mazhab Syafi’i, mengingat buku itu adalah resume dari
al Muharror. Yang mana
al Muharror merupakan ikhtisar atau resume dari kitab
al Wajiz. Sementara
al Wajiz sendiri adalah resume dari
al Wasith, sedang
al Wasith adalah resume dari
al Basith yang merupakan ringkasan dari buku
Nihayatul Mathlab. Sebagaimana kita tahu,
Nihayatul Mathlab merupakan resume dari empat buku babon karya imam Syafi’i, yakni
al Umm, Mukhtashor Muzani, al Imla, dan
al Buwaithy.
Sebagai
komentator pamungkas, rekan Muhammad Amrullah selain menyinggung
tentang definisi, ia juga menganjurkan adanya sedikit bumbu histori dan
teori-teori dari dasar jual beli. Merujuk pada ungkapan Dr. Djamaluddin
Athiyyah, kiranya akan menarik bila mencantumkan juga contoh kasus
klasik yang disikapi dengan resep modern dalam konteks kesekarangan.
Selanjutnya, mengingat keniscayaan ketika berbicara sistem juga akan
membincang furuk. Sementara furuk sendiri akan berubah sesuai tuntutan
ruang, zaman dan waktu, maka Amrullah memandang lebih bagus fokus
pembahasan pada dasar-dasar ekonomi serta kembali pada kaidah
fiqhiah yang berhubungan dengan muamalah secara umum dan transaksi jual beli secara khusus. Semisal seperti kaidah:
“al ashlu fi al mu’âmalât al ibâhah (al hillu),” “
al ibrab fî al ‘uqûd al maqâshid wa al ma’ânî lâ al alfâdh wa al mabânî”; “al ba’i’ bi al tarâdlîy” dll.
Kenapa
mesti demikian? Sebab secara umum muamalat telah diatur oleh
kaidah-kaidah fikih yang digali dari sumber syariat. Entah itu yang
pengaturannya bersifat umum maupun inheren dengan praktik muamalat.
Kaidah-kaidah yang berhubungan inheren dengan mu’amalah secara
komprehensif bisa dirujuk langsung semisal dalam:
Jamharatul Qawâ’id al fiqhiyyah fî al Mu’âmalât al Mâliyyah karya Dr. Ali Ahmad al Nadwi,
al Qowâ’id al Ushûliyyah ‘inda Ibnu Taimiyah wa Tathbiqâtihâ fî al Mu’âmalât al Taqlidiyyah wa al Mu’âshirah karya Muhammad bin Abdullah al-Haj al-Hasyimi dan
al Qowâ’id al Hâkimah li Fiqh al Mu’âmalât karya Dr. Yusuf al Qaradlawi.